Ketangguhan pesawat tak berawak Predator memang tak perlu diragukan
lagi. Pesawat pengintai yang dilengkapi dengan rudal pemburu tank
berpresisi tinggi itu telah membuktikan kemampuannya di medan tempur.
Predator A dipercaya terlibat dalam tewasnya
tokoh Al Qaidah, Abu Hamza Rabia, di Pakistan pada 2005. Pesawat itu juga berhasil mendeteksi keberadaan Usamah bin Ladin di Afganistan pada 2000. "Adiknya", Predator B atau MQ-9 Reaper, juga berhasil membantu militer Amerika Serikat dalam pertempuran di Afganistan.
Kini General Atomics Aeronautical Systems melahirkan seri terbaru pesawat mata-mata itu, yaitu Predator C Avenger. Predator generasi baru ini mempunyai sejumlah kelebihan yang tak terdapat pada dua Predator terdahulu. "Pesawat ini lebih survive dalam lingkungan berisiko tinggi dengan kecepatan dan operasional yang jauh lebih tinggi ketimbang pesawat seri Predator lainnya, yang membuatnya mampu bereaksi cepat dan melakukan reposisi dalam waktu singkat," kata perusahaan itu dalam situsnya.
Selain bermesin jet, bodi Predator C Avenger didesain untuk menangkal pantauan radar dan menutupi jejak inframerah mesinnya. Fitur ini tak ada pada dua seri sebelumnya. General Atomics Aeronautical Systems perlu tiga setengah tahun untuk merancang prototipe unmanned aerial vehicle (UAV) anyar itu.
Sirip ekor berbentuk V yang berorientasi vertikal berfungsi ganda, yaitu menangkis pantauan radar sekaligus menutupi jejak inframerah dari semburan mesin exhaust Pratt & Whitney PW54B. Kompartemen mesin berdesain punggung bungkuk menawarkan ruang leluasa bagi exhaust yang berliku yang mengeliminasi observasi radar terhadap mesinnya.
Pratt & Whitney telah mengembangkan exhaust berbentuk S yang memberi perlindungan dari observasi radar dan pendinginan untuk mengurangi jejak inframerah dari mesinnya. Mesin itu diperkirakan mampu menyuplai tenaga yang cukup besar sehingga UAV itu mampu terbang dengan kecepatan 740 kilometer per jam.
Sayap yang terentang sepanjang 20 meter dengan kemiringan 17 derajat dan tepi ekornya dibuat paralel. Hal ini sama dengan prinsip bentuk yang digunakan pada desain stealth klasik yang diterapkan pada pesawat B-22 dan B-2. Bagian tepi yang berlekuk memberikan manfaat, baik dari segi aerodinamika maupun strukural, dari sayap yang meruncing dan membantu melindungi celah mesin dari radar.
Eksterior baru UAV itu menawarkan sejumlah petunjuk soal bagaimana kemampuan pesawat itu di medan tempur kelak. Sebuah anjungan senjata internal memungkinkan pesawat itu mengangkut bom seberat lebih dari 225 kilogram yang dilengkapi dengan pemandu laser dan GBU -38 JDAM tail kit. Pintu anjungan senjata ini juga bisa dicopot untuk pemasangan bilik wide area surveillance.
Seperti Predator varian B, Avenger juga didesain untuk membawa persenjataan dan sensor seberat 1360 kilogram. Dalam misi yang tidak membutuhkan kamuflase, persenjataan bisa dipasang secara eksternal pada badan dan sayap pesawat.
Pesawat ini mampu terbang nonstop selama 20 jam, tapi waktu penerbangan bisa ditambah dua jam lagi dengan menginstal tangki bahan bakar di anjungan senjata. Bagian bawah pesawat yang panjang dan polos menghasilkan desan berdistorsi rendah untuk membawa sensor wide-area surveillance seperti radar pemindai aktif secara elektronik (AESA) yang tahan segala cuaca.
Dalam penerbangan perdananya di Gray Butte Flight Operations Facility di Palmdale, California, pada 4 April lalu, pesawat itu mendarat dengan mulus dan siap terbang kembali begitu bahan bakarnya selesai diisi ulang. Penerbangan berikutnya yang digelar 13 dan 14 April juga berlangsung sukses. "Mengikuti langkah Predator B yang telah terbukti di medan tempur, kehadiran Avenger melengkapi seri Predator dengan kemampuan multi misi dan fleksibilitas lain," kata Thomas J. Cassidy, Jr., presiden Aircraft Systems Group, General Atomics Aeronautical Systems.
Perusahaan pembuat dan perancang pesawat tanpa awak itu menyatakan bahwa berbagai fitur baru itu melengkapi fleksibilitas operasi dua varian Predator sebelumnya. Predator/MQ-1, misalnya, difokuskan pada misi tertentu yang mengharuskan pesawat itu terbang tinggi dalam jangka waktu panjang. Sedangkan Predator B/MQ-9 dapat mengangkut persenjataan lebih banyak dan mampu terbang nonstop dalam jangka waktu panjang sehingga bisa digunakan untuk melakukan pengawasan dan pemantauan maritim. "Kini Predator C menggenapi fleksibilitas sistem pesawat UAV dengan pengintaian reaksi cepat," kata perusahaan itu dalam situsnya.
Selain kemampuan terbang bak siluman, General Atomics Aeronautical Systems juga memikirkan penyimpanan pesawat yang hampir empat meter lebih panjang daripada Predator seri awal itu. Untuk mempermudah pesawat dengan rentang sayap 20 meter itu memasuki hanggar atau dibawa dalam operasi maritim, sayap Predator C Avenger ini juga dapat dilipat.
Cassidy, seorang purnawirawan laksamana memang telah lama memimpikan Predator bisa berperan dalam misi di laut. Angkatan laut Amerika Serikat memang berminat dengan kemampuan Reaper, namun enggan membawa pesawat bermesin baling-baling di atas deknya. Khusus untuk operasi di laut, Predator C juga dilengkapi dengan tailhook agar mempermudah pesawat itu mendarat di atas kapal.
Predator A dipercaya terlibat dalam tewasnya
tokoh Al Qaidah, Abu Hamza Rabia, di Pakistan pada 2005. Pesawat itu juga berhasil mendeteksi keberadaan Usamah bin Ladin di Afganistan pada 2000. "Adiknya", Predator B atau MQ-9 Reaper, juga berhasil membantu militer Amerika Serikat dalam pertempuran di Afganistan.
Kini General Atomics Aeronautical Systems melahirkan seri terbaru pesawat mata-mata itu, yaitu Predator C Avenger. Predator generasi baru ini mempunyai sejumlah kelebihan yang tak terdapat pada dua Predator terdahulu. "Pesawat ini lebih survive dalam lingkungan berisiko tinggi dengan kecepatan dan operasional yang jauh lebih tinggi ketimbang pesawat seri Predator lainnya, yang membuatnya mampu bereaksi cepat dan melakukan reposisi dalam waktu singkat," kata perusahaan itu dalam situsnya.
Selain bermesin jet, bodi Predator C Avenger didesain untuk menangkal pantauan radar dan menutupi jejak inframerah mesinnya. Fitur ini tak ada pada dua seri sebelumnya. General Atomics Aeronautical Systems perlu tiga setengah tahun untuk merancang prototipe unmanned aerial vehicle (UAV) anyar itu.
Sirip ekor berbentuk V yang berorientasi vertikal berfungsi ganda, yaitu menangkis pantauan radar sekaligus menutupi jejak inframerah dari semburan mesin exhaust Pratt & Whitney PW54B. Kompartemen mesin berdesain punggung bungkuk menawarkan ruang leluasa bagi exhaust yang berliku yang mengeliminasi observasi radar terhadap mesinnya.
Pratt & Whitney telah mengembangkan exhaust berbentuk S yang memberi perlindungan dari observasi radar dan pendinginan untuk mengurangi jejak inframerah dari mesinnya. Mesin itu diperkirakan mampu menyuplai tenaga yang cukup besar sehingga UAV itu mampu terbang dengan kecepatan 740 kilometer per jam.
Sayap yang terentang sepanjang 20 meter dengan kemiringan 17 derajat dan tepi ekornya dibuat paralel. Hal ini sama dengan prinsip bentuk yang digunakan pada desain stealth klasik yang diterapkan pada pesawat B-22 dan B-2. Bagian tepi yang berlekuk memberikan manfaat, baik dari segi aerodinamika maupun strukural, dari sayap yang meruncing dan membantu melindungi celah mesin dari radar.
Eksterior baru UAV itu menawarkan sejumlah petunjuk soal bagaimana kemampuan pesawat itu di medan tempur kelak. Sebuah anjungan senjata internal memungkinkan pesawat itu mengangkut bom seberat lebih dari 225 kilogram yang dilengkapi dengan pemandu laser dan GBU -38 JDAM tail kit. Pintu anjungan senjata ini juga bisa dicopot untuk pemasangan bilik wide area surveillance.
Seperti Predator varian B, Avenger juga didesain untuk membawa persenjataan dan sensor seberat 1360 kilogram. Dalam misi yang tidak membutuhkan kamuflase, persenjataan bisa dipasang secara eksternal pada badan dan sayap pesawat.
Pesawat ini mampu terbang nonstop selama 20 jam, tapi waktu penerbangan bisa ditambah dua jam lagi dengan menginstal tangki bahan bakar di anjungan senjata. Bagian bawah pesawat yang panjang dan polos menghasilkan desan berdistorsi rendah untuk membawa sensor wide-area surveillance seperti radar pemindai aktif secara elektronik (AESA) yang tahan segala cuaca.
Dalam penerbangan perdananya di Gray Butte Flight Operations Facility di Palmdale, California, pada 4 April lalu, pesawat itu mendarat dengan mulus dan siap terbang kembali begitu bahan bakarnya selesai diisi ulang. Penerbangan berikutnya yang digelar 13 dan 14 April juga berlangsung sukses. "Mengikuti langkah Predator B yang telah terbukti di medan tempur, kehadiran Avenger melengkapi seri Predator dengan kemampuan multi misi dan fleksibilitas lain," kata Thomas J. Cassidy, Jr., presiden Aircraft Systems Group, General Atomics Aeronautical Systems.
Perusahaan pembuat dan perancang pesawat tanpa awak itu menyatakan bahwa berbagai fitur baru itu melengkapi fleksibilitas operasi dua varian Predator sebelumnya. Predator/MQ-1, misalnya, difokuskan pada misi tertentu yang mengharuskan pesawat itu terbang tinggi dalam jangka waktu panjang. Sedangkan Predator B/MQ-9 dapat mengangkut persenjataan lebih banyak dan mampu terbang nonstop dalam jangka waktu panjang sehingga bisa digunakan untuk melakukan pengawasan dan pemantauan maritim. "Kini Predator C menggenapi fleksibilitas sistem pesawat UAV dengan pengintaian reaksi cepat," kata perusahaan itu dalam situsnya.
Selain kemampuan terbang bak siluman, General Atomics Aeronautical Systems juga memikirkan penyimpanan pesawat yang hampir empat meter lebih panjang daripada Predator seri awal itu. Untuk mempermudah pesawat dengan rentang sayap 20 meter itu memasuki hanggar atau dibawa dalam operasi maritim, sayap Predator C Avenger ini juga dapat dilipat.
Cassidy, seorang purnawirawan laksamana memang telah lama memimpikan Predator bisa berperan dalam misi di laut. Angkatan laut Amerika Serikat memang berminat dengan kemampuan Reaper, namun enggan membawa pesawat bermesin baling-baling di atas deknya. Khusus untuk operasi di laut, Predator C juga dilengkapi dengan tailhook agar mempermudah pesawat itu mendarat di atas kapal.
No comments:
Post a Comment